Berdasarkan
data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2011, baru 55,60% penduduk Indonesia
yang memiliki akses sanitasi yang layak, yang terbagi antara 72,54% di
perkotaan dan 38,97% di perdesaan. Angka ini masih jauh dari target MDG yaitu
62,40% atau 76,82% di perkotaan dan 55.55% di perdesaan. Dari target RPJMN
bidang kesehatan untuk mencapai 20.000 desa SBS pada tahun 2014, usaha keras
masih sangat diperlukan.Berdasarkan data Kemenkes, hingga November 2013, baru
14.189 desa yang sudah Stop Buang Air Besar Sembarangan. Oleh karena itu,
pemahaman terkait konsep dasar pendekatan STBM menjadi sangat penting agar
peserta pelatihan bisa memahami secara utuh, untuk selanjutnya dapat
memfasilitasi penerapan STBM di masyarakat.
a.
Pengertian STBM
STBM
adalah pendekatan untuk merubah perilaku higiene dan sanitasi higienis dan
saniter melalui pemberdayaan masyarakat dengan cara pemicuan. Penyelenggara
pelaksanaan pendekatan STBM adalah masyarakat, baik yang terdiri dari individu,
rumah tangga maupun kelompok-kelompok masyarakat.
Definisi Operasional STBM
• Kondisi Sanitasi Total adalah kondisi
ketika suatu komunitas (i) tidak buang air besar sembarangan; (ii) mencuci
tangan pakai sabun; (iii) mengelola air minum dan makanan yang aman; (iv)
mengelola sampah dengan aman; dan (v) mengelola limbah cair rumah tangga dengan
aman.
• Sanitasi dalam dokumen ini meliputi
kondisi sanitasi total di atas.
• Berbasis masyarakat adalah kondisi yang
menempatkan masyarakat sebagai pengambil keputusan dan penanggungjawab dalam
rangka menciptakan/meningkatkan kapasitas masyarakat untuk memecahkan berbagai
persoalan terkait upaya peningkatan kualitas hidup, kemandirian, kesejahteraan,
serta menjamin keberlanjutannya.
• ODF (Open Defecation Free) atau SBS (Stop Buang air besar Sembarangan)
adalah kondisi ketika setiap individu dalam suatu komunitas tidak lagi
melakukan perilaku buang air besar sembarang yang berpotensi menyebarkan
penyakit.
• Jamban sehat adalah fasilitas
pembuangan tinja yang efektif untuk memutus mata rantai penularan penyakit.
• Cuci Tangan Pakai Sabun (CTPS) adalah
perilaku cuci tangan dengan menggunakan air bersih yang mengalir dan sabun.
• Sarana CTPS adalah sarana untuk
melakukan perilaku cuci tangan pakai sabun yang dilengkapi dengan sarana air
mengalir, sabun dan saluran pembuangan air limbah.
• Pengelolaan Air Minum dan Makanan Rumah
Tangga (PAMM-RT) adalah melakukan kegiatan mengelola air minum dan makanan
di rumah tangga untuk memperbaiki dan menjaga kualitas air dari sumber air yang
akan digunakan untuk air minum, serta untuk menerapkan prinsip hygiene sanitasi
pangan dalam proses pengelolaan makanan di rumah tangga.
• Pengamanan Sampah Rumah Tangga (PS-RT)
adalah adalah melakukan kegiatan pengolahan sampah di rumah tangga dengan
mengedepankan prinsip mengurangi, memakai ulang, dan mendaur ulang.
• Pengamanan Limbah Cair Rumah Tangga
(PLC-RT) adalah melakukan kegiatan pengolahan limbah cair di rumah tangga
yang berasal dari sisa kegiatan mencuci, kamar mandi dan dapur yang memnuhi
standar baku mutu kesehatan lingkungan dan persyaratan kesehatan yang mampu
memutus mata rantai penularan penyakit.
• Pemerintah daerah adalah gubernur,
bupati, atau walikota dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara
pemerintahan daerah.
• Pemerintah pusat yang selanjutnya
disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan
pemerintahan Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
• Peningkatan kebutuhan sanitasi adalah
upaya sistematis untuk meningkatkan kebutuhan menuju perubahan perilaku yang
higienis dan saniter.
• Peningkatan penyediaan sanitasi adalah
meningkatkan dan mengembangkan percepatan penyediaan akses terhadap produk dan
layanan sanitasi yang layak dan terjangkau dalam rangka membuka dan
mengembangkan pasar sanitasi.
• Penciptaan lingkungan yang kondusif
adalah menciptakan kondisi yang mendukung tercapainya sanitasi total, yang
tercipta melalui dukungan kelembagaan, regulasi, dan kemitraan antar pelaku
STBM, termasuk didalamnya pemerintah, masyarakat, lembaga swadaya masyarakat,
institusi pendidikan, institusi keagamaan dan swasta.
• Sanitasi komunal adalah sarana sanitasi
yang melayani lebih dari satu keluarga, biasanya sarana ini dibangun di daerah
yang memiliki kepadatan tinggi dan keterbatasan lahan.
• Verifikasi adalah proses penilaian dan
konfirmasi untuk mengukur pencapaian seperangkat indikator yang dijadikan
standar.
• LSM/NGO adalah organisasi yang
didirikan oleh perorangan atau sekelompok orang secara sukarela yang memberikan
pelayanan kepada masyarakat umum tanpa bertujuan untuk memperoleh keuntungan
dari kegiatannya.
• Natural leader merupakan anggota
masyarakat baik individu maupun kelompok masyarakat, yang memotori gerakan STBM
di masyarakat tersebut.
• Rencana
Tindak Lanjut (RTL) merupakan rencana yang disusun dan disepakati oleh
masyarakat dengan didampingi oleh fasilitator.
• Desa/kelurahan yang melaksanakan STBM
adalah desa/kelurahan intervensi pendekatan STBM dan dijadikan target antara
karena untuk mencapai kondisi sanitasi total dibutuhkan pencapaian kelima pilar
STBM. Ada 3 indikator desa/kelurahan yang melaksanakan STBM: (i) minimal telah
ada intervensi melalui pemicuan di salah satu dusun dalam desa/kelurahan
tersebut; (ii) ada masyarakat yang bertanggung jawab untuk melanjutkan aksi
intervensi STBM seperti disebutkan pada poin pertama, baik individu (natural
leader) ataupun bentuk komite; (iii) sebagai respon dari aksi intervensi STBM,
masyarakat menyusun suatu rencana aksi kegiatan dalam rangka mencapai
komitmenkomitmen perubahan perilaku pilar-pilar STBM, yang telah disepakati
bersama; misal: mencapai status SBS.
• Desa/Kelurahan ODF(Open Defecation Free) /
SBS (Stop Buang air besar Sembarangan) adalah desa/kelurahan yang 100%
masyarakatnya telah buang air besar di jamban sehat,yaitu, mencapai perubahan
perilaku kolektif terkait Pilar 1 dari 5 pilar STBM
• Desa STBM, selain menyandang status
ODF,100% rumah tangga memiliki dan menggunakan sarana jamban yang ditingkatkan
dan telah terjadi perubahan perilaku untuk pilar lainnya seperti memiliki dan
menggunakan sarana cuci tangan pakai sabun dan 100% rumah tangga mempraktikan
penanganan yang aman untuk makanan dan air minum rumah tangga.
• Desa/kelurahan Sanitasi Total selain
menyandang status Desa STBM/ ODF++, 100% rumah tangga melaksanakan praktik
pembuangan sampah dan limbah cair domestik yang aman, yaitu desa/kelurahan yang
telah mencapai perubahan perilaku kolektif terkait seluruh Pilar 1-5 STBM,
artinya Kondisi Sanitasi Total.
Baca Juga : Kebijakan dan Stategi Nasional STBM
Baca Juga : Kebijakan dan Stategi Nasional STBM
b.
Tujuan STBM
Tujuan
pendekatan STBM adalah untuk mencapai kondisi sanitasi total dengan mengubah
perilaku higiene dan sanitasi melalui pemberdayaan masyarakat yang meliputi 3
strategi yaitu penciptaan lingkungan yang mendukung, peningkatan kebutuhan
sanitasi, serta peningkatan penyediaan akses sanitasi.
c.
Sejarah Program Pembangunan Sanitasi
Jauh
sebelum Indonesia merdeka, program sanitasi sudah dilakukan oleh masyarakat
Indonesia. Berdasarkan catatan pejabat VOC Dampier, pada tahun 1699 masyarakat
Indonesia sudah terbiasa mandi ke sungai dan buang air besar di sungai dan di
pinggir pantai, sedangkan pada masa itu, masyarakat di Eropa dan India masih
menggunakan jalan-jalan kota atau air tergenang untuk BAB. Di tahun 1892, HCC
Clockener Brouson mencatat bahwa orang Indonesia terbiasa mandi 3 kali sehari,
menggunakan bak, menyabun, membilas dan mengeringkan badannya. Pada akhir tahun
1800an, pemerintah Belanda sudah membuat sambungan air ke rumah-rumah di
kawasan komersial di Jakarta dan membuat Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL)
di Bandung pada tahun 1916. Selanjutnya di tahun 1930, mantri hygiene Belanda,
Dr. Heydrick melakukan kampanye untuk BAB di kakus. Dr. Heydrick sendiri
dikenal sebagai mantri kakus. Di tahun 1936, didirikanlah sekolah mantri
higiene di Banyumas. Siswa mendapatkan pendidikan 18 bulan sebelum mereka
diterjunkan ke kampung-kampung untuk mempromosikan hidup sehat dan melakukan
upaya-upaya pencegahan penyakit. Setelah merdeka, pemerintah mencanangkan
program Sarana Air Minum dan Jamban Keluarga (SAMIJAGA) melalui Inpres No.
5/1974. Untuk mendapatkan sumber daya manusia dalam melaksanakan
program-program tersebut, Kementerian Kesehatan mendirikan sekolah-sekolah
kesehatan lingkungan, yang sekarang dikenal dengan nama Politeknik Kesehatan
(Poltekes). Periode 1970-1997, pemerintah melakukan beragam.
program
pembangunan sanitasi. Program-program tersebut umumnya dilakukan dengan
pendekatan keproyekan, sehingga faktor keberlanjutannya sangat rendah. Hal ini
secara tidak langsung menyebabkan rendahnya peningkatan akses sanitasi
masyarakat. Hasil studi ISSDP mencatat hanya 53% dari masyarakat Indonesia yang
BAB di jamban yang layak pada tahun 2007, sedangkan sisanya BAB di sembarang
tempat. Lebih jauh hal ini berkorelasi dengan tingginya angka diare dan
penyakit-penyakit yang disebabkan oleh lingkungan yang tidak bersih. Dengan
mempertimbangkan kebutuhan keberlanjutan program dan tingkat keberhasilan yang
ingin dicapai, pemerintah melakukan perubahan pendekatan pembangunan sanitasi,
dari keproyekan menjadi keprograman. Pada tahun 2008, pemerintah mencanangkan
Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM). Secara ringkas, perbedaan pendekatan
pembangunan sanitasi sebelum dan saat ini terlihat pada tabel di bawah ini:
d.
Konsep STBM
Konsep STBM
diadopsi dari konsep Community Led Total Sanitation (CLTS) yang telah
disesuaikan dengan konteks dan kebutuhan di Indonesia. Sebelum memahami konsep
dan prinsip STBM, berikut dijelaskan secara singkat konsep CLTS. CLTS adalah
sebuah pendekatan dalam pembangunan sanitasi pedesaan dan mulai berkembang pada
tahun 2001. Pendekatan ini awalnya diujicobakan di beberapa komunitas di
Bangladesh dan saat ini sudah diadopsi secara massal di negara tersebut. Salah
satu negara bagian di India yaitu Provinsi Maharasthra telah mengadopsi.
pendekatan CLTS
ke dalam program pemerintah secara massal yang disebut dengan program Total
Sanitation Campaign (TSC). Beberapa negara lain seperti Cambodia, Afrika,
Nepal, dan Mongolia juga telah menerapkan CLTS.
Pendekatan ini
berawal dari sebuah penilaian dampak partisipatif air bersih dan sanitasi yang
telah dijalankan selama 10 tahun oleh Water Aid. Salah satu rekomendasi dari
penilaian tersebut adalah perlunya mengembangkan sebuah strategi untuk secara
perlahan-lahan mencabut subsidi pembangunan toilet. Ciri utama pendekatan ini
adalah tidak adanya subsidi terhadap infrastruktur (jamban keluarga), dan tidak
menetapkan model standar jamban yang nantinya akan dibangun oleh masyarakat.
Pada
dasarnya CLTS adalah “pemberdayaan” dan “tidak membicarakan masalah subsidi”.
Artinya, masyarakat yang dijadikan “guru” dengan tidak memberikan subsidi sama
sekali. Gambaran tentang CLTS dapat diperoleh melalui VCD tentang implementasi
CLTS di Propinsi Maharashtra di India dan pengembangan CLTS di Indonesia
(Awakening). Community lead (dipimpin oleh masyarakat) tidak hanya dalam
sanitasi, tetapi dapat dalam hal lain seperti dalam pendidikan, pertanian, dan
lain – lain, prinsip yang terpenting adalah:
• Inisiatif
masyarakat,
• Total atau
keseluruhan, keputusan masyarakat dan pelaksanaan secara kolektif adalah kunci
utama,
• Solidaritas
masyarakat (laki perempuan, kaya miskin) sangat terlihat dalam pendekatan ini,
• Semua dibuat
oleh masyarakat, tidak ada ikut campur pihak luar, dan biasanya akan muncul
“natural leader”.
Dasar dari CLTS
adalah tiga pilar utama PRA, yaitu:
1. Attitude and
Behaviour Change (perubahan perilaku dan kebiasaan)
2. Sharing
(berbagi)
3. Method
(metode)
Ketiganya
merupakan pilar utama yang harus diperhatikan dalam pendekatan CLTS, namun dari
ketiganya yang paling penting adalah “perubahan
perilaku dan kebiasaan” (Attitude and Behavior Change)”, karena jika
perilaku dan kebiasaan tidak berubah maka kita tidak akan pernah mencapai tahap
“berbagi (sharing)” dan sangat sulit
untuk menerapkan “metode” yang
tepat.
Perubahan
perilaku dan kebiasaan tersebut harus total, dimana didalamnya meliputi perilaku
personal atau individual, perilaku institusional atau kelembagaan dan perilaku
profesional atau yang berkaitan dengan profesi.
Salah satu perilaku dan kebiasaan yang harus
berubah adalah perilaku fasilitator, diantaranya:
• Pandangan bahwa
ada kelompok yang berada di tingkat atas (upper) dan kelompok yang berada di
tingkat bawah (lower). Cara pandang “upper-lower” harus dirubah menjadi
“pembelajaran bersama”, bahkan menempatkan masyarakat sebagai “guru” karena
masyarakat sendiri yang paling tahu apa yang terjadi dalam masyarakat itu.
• Cara pikir
bahwa kita datang bukan untuk “memberi” sesuatu tetapi “menolong” masyarakat
untuk menemukan sesuatu.
• Bahasa tubuh
(gesture); sangat berkaitan dengan pandangan upper lower. Bahasa tubuh yang
menunjukkan bahwa seorang fasilitator mempunyai pengetahuan atau keterampilan
yang lebih dibandingkan masyarakat, harus dihindari.
Ketika
perilaku dan kebiasaan (termasuk cara berpikir dan bahasa tubuh) dari
fasilitator telah berubah maka “sharing” akan segera dimulai. Masyarakat akan
merasa bebas untuk mengatakan tentang apa yang terjadi di komunitasnya dan
mereka mulai merencanakan untuk melakukan sesuatu. Setelah masyarakat dapat
berbagi, maka metode mulai dapat diterapkan. Masyarakat secara bersama-sama
melakukan analisa terhadap kondisi dan masalah masyarakat tersebut.
Dalam
CLTS fasilitator tidak memberikan solusi. Namun ketika metode telah diterapkan
(proses pemicuan telah dilakukan) dan masyarakat sudah terpicu sehingga
diantara mereka sudah ada keinginan untuk berubah tetapi masih ada kendala yang
mereka rasakan misalnya kendala teknis, ekonomi, budaya, dan lain-lain maka
fasilitator mulai memotivasi mereka untuk mecapai perubahan ke arah yang lebih
baik, misalnya dengan cara memberikan alternatif pemecahan masalah-masalah
tersebut. Tentang usaha atau alternatif mana yang akan digunakan, semuanya
harus dikembalikan kepada masyarakat tersebut.
Konsep-konsep
inilah yang kemudian diadopsi oleh STBM dan disesuaikan dengan kondisi dan
kebutuhan di Indonesia. Konsep STBM menekankan pada upaya perubahan perilaku
yang berkelanjutan untuk mencapai kondisi sanitasi total melalui pemberdayaan
masyarakat.